Kelompok rentan bagian utama pemulihan inklusif dampak pandemi

Kolaborasi dan pendekatan sosio-ekonomi jadi cara jitu percepepat pemulihan dampak pandemi COVID-19 secara inklusif.

News | Jakarta, Indonesia | 20 October 2021
Pandemi COVID-19 yang telah berlangsung 18 bulan, memberikan dampak luar biasa pada dunia, tak terkecuali Indonesia. Tidak hanya pada aspek kesehatan, pagebluk global juga berdampak pada aspek sosio-ekonomi masyarakat.



Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat sebanyak 255 juta orang kehilangan pekerjaan dengan kerugian mencapai US$ 3,7 triliun yang menyebabkan 124 juta orang masuk kategori sangat miskin. Kondisi ini juga dialami oleh Indonesia dimana 2,6 juta orangnya mengalami kehilangan pekerjaan dari seluruh pasar tenaga kerja sektor formal sebanyak 29 juta orang. Alhasil, terjadi penambahan jumlah penduduk miskin selama pandemi berlangsung.

Kepala Perwakilan PBB di Indonesia, Valerie Julliand menekankan pentingnya kolaborasi untuk segera pulih dari dampak pandemi. “Kita dihadapkan pilihan yang sulit antara breakthrough atau breakdown. Situasi yang sama pernah terjadi pada akhir Perang Dunia Kedua. Untuk itu, kita antarnegara perlu berkolaborasi untuk bangkit dan pulih dari pandemi global ini,” jelasnya pada diskusi virtual Ngobrol@Tempo bertajuk ‘Pemulihan Inklusif Dampak Pandemi Covid-19 Menuju Indonesia Tangguh’ pada Jumat, 15 Oktober 2021.

PBB, melalui mekanisme pendanaan antarbadan PBB atau United Nations COVID-19 Response and Recovery Multi-Partner Trust Fund (UN MPTF), menjadi katalisator upaya mempercepat pemulihan pandemi melalui pendekatan sosio-ekonomi secara inklusif dengan melibatkan pihak-pihak terkait.

Pendanaan kolaboratif yang melibatkan ILO, UNDP, UNAIDS, dan UNHCR tersebut menyasar pada kelompok rentan, antara lain perempuan, anak muda, Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), penyandang disabilitas, pengungsi, penganggur, dan golongan lainnya yang jauh dari akses atas kesejahteraan sosial maupun perlindungan sosial.

Senada dengan Valerie, Deputi bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti mendukung langkah-langkah kolaboratif untuk mewujudkan pemulihan dan pembangunan inklusif secara berkelanjutan. “Kemitraan dan kolaborasi lintas pemangku kepentingan dalam pemulihan ekonomi yang inklusif dan adaptif untuk memperkuat resiliensi kelompok rentan menjadi kata kunci dalam keberhasilan implementasi SDGs yang diinisiasi PBB,” ungkapnya.

Sedangkan program penanganan kemiskinan untuk kelompok rentan, salah satunya tengah diimplementasikan melalui Sentra Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI). Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial, Kanya Eka Santi menyampaikan bahwa program binaan Kemensos tersebut telah memberikan perlindungan bagi kelompok rentan. “Program ini termasuk dukungan pemenuhan kebutuhan hidup layak, terapi psikososial dan terapi mental spiritual, pelatihan kewirausahaan, bantuan sosial, dan asistensi sosial bagi kelompok rentan,” jelasnya.

Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBI), Elly Rosita Silaban menanggapi isu pemulihan dampak pandemi, terutama pada sektor ketenagakerjaan. “Saat ini, isu dalam ketenagakerjaan masih berkutat pada PHK, pengurangan jam kerja, namun belum menyentuh isu lain yang terkait dengan kelompok disabilitas, HIV/AIDS dalam dunia hubungan industrial buruh dan pemberi kerja,” katanya.

Dari sisi pengusaha, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Danang Girindrawardana menjelaskan diskriminasi terhadap kelompok rentan, terutama kaum disabilitas dan ODHA dilakukan oleh perseorangan, bukan karena sistem korporasi yang tidak memadai. “Apindo berkewajiban moral untuk menegur anggota asosiasi yang diskriminasi terhadap kaum disabilitas. Untuk itu kami mendorong infrastruktur yang layak dan pengembangan karier yang sama bagi mereka. Apindo sudah menandatangani perjanjian ini dengan ILO,” tegasnya.

Direktur ILO untuk Indonesia dan Timor-Leste, Michiko Miyamoto menjelaskan pihaknya akan memperkuat sistem perlindungan sosial bagi kelompok rentan, “Salah satunya dengan memberikan pelatihan kewirausahaan, pendampingan bisnis, pelatihan keterampilan kepada ribuan orang untuk mampu pulih dari situasi pandemik. Inklusivitas sosial bukan biaya tapi peluang untuk tumbuh. ILO memperkirakan, investasi global akan menciptakan 269 juta pekerjaan ramah lingkungan sebagai peluang kerja baru sampai tahun 2030. Indonesia harus jeli memanfaatkan peluang ini,” tutup Michiko.