Wirausaha muda merintis bisnis inovatif dari pangan lokal

Sebagai bagian dari program bersama PBB, ILO memberikan pelatihan kewirausahaan untuk membantu kaum muda dan kelompok rentan lainnya merintis dan meningkatkan usaha mereka di tengah pandemi.

Feature | Kupang, Nusa Tenggara Timur, Indonesia | 23 September 2021
Devaart Rescy Jonathan Manu atau Epang dengan bangga memperlihatkan produk-produk organiknya dari tanaman kelor
Devaart Rescy Jonathan Manu, atau yang biasa dipanggil Epang, tak pernah mengira di usianya yang baru menginjak 18 tahun, ia bisa menjalankan usaha yang menghasilkan. Saat ini Epang dan tiga saudaranya menjalankan usaha pengolahan daun dan biji kelor. Membawa nama “Moringa House”, mereka mengolah daun kelor menjadi teh dan tepung, serta mengubah biji kelor menjadi minyak murni yang bernilai jual tinggi.

Usaha saya ini juga mendukung program Pemerintah NTT tentang budidaya tanaman kelor. Bahkan menurut penelitian yang saya baca, tanaman ini dapat membantu mencegah hambatan pertumbuhan (stunting) yang banyak terjadi di NTT."

Devaart Rescy Jonathan Manu atau Epang
Bagaimana Epang, yang baru saja menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas beberapa bulan lalu dapat memulai usahanya? Ini semua berawal dari satu pertanyaan di sebuah formulir pendaftaran. Ia merupakan salah seorang peserta Pelatihan Kewirausahaan di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pelatihan yang diselenggarakan oleh Lembaga Konsultasi Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (LKP UKMK) ini merupakan bagian dari proyek Ketenagakerjaan dan Mata Pencarian, sebuah proyek bersama PBB di Indonesia di mana ILO menjadi salah satu dari empat badan PBB yang terlibat.

“Melalui proyek bersama ini, kami memberikan pelatihan-pelatihan kewirausahaan dan bisnis bagi kelompok rentan yang terkena dampak pandemi COVID-19, terutama di kawasan Timur Indonesia termasuk NTT,” ujar Budi Maryono, Staf ILO untuk Kewirausahaan. “Melalui pelatihan ini, kelompok perempuan, warga desa, penyandang disabilitas, orang dengan HIV dan kaum muda sesuai Epang dilatih secara daring untuk meningkatkan pendapatan mereka yang diperoleh baik dari usaha yang baru atau yang sudah.”

Pertanyaan yang memicu ide lahirnya Moringa House adalah: “Apakah Anda memiliki ide bisnis?” Pertanyaan tersebut menggelitik jiwa kewirausahaan Epang, mendorongnya untuk memulai usaha di bidang pertanian. Ide ini pun mengingatkannya pada perlengkapan penelitian milik Ayahnya.

“Ayah saya punya alat penelitian lengkap yang sudah lama tidak digunakan. Daripada tidak dipergunakan dan rusak, lebih baik saya pergunakan untuk menghasilkan uang, kan?” katanya dengan tersenyum seraya membersihkan alat pemeras minyak yang diberikan ayahnya.

Lantas, kenapa tanaman kelor? Bagi Epang, kelor merupakan tumbuhan yang telah dipergunakan masyarakat NTT secara turun termurun. Tanaman ini terkenal kaya dengan mineral dan vitamin yang umum dipergunakan sebagai bahan masakan dan konsumsi harian.

“Kami menyebutnya tanaman ajaib. Usaha saya ini juga mendukung program Pemerintah NTT tentang budidaya tanaman kelor. Bahkan menurut penelitian yang saya baca, tanaman ini dapat membantu mencegah hambatan pertumbuhan (stunting) yang banyak terjadi di NTT,” ungkapnya dengan penuh semangat.

Melalui proyek bersama ini, kami memberikan pelatihan-pelatihan kewirausahaan dan bisnis bagi kelompok rentan yang terkena dampak pandemi COVID-19, terutama di kawasan Timur Indonesia termasuk NTT."

Budi Maryono, Staf ILO untuk Kewirausahaan
Dari berbagai keterampilan yang dipelajari selama pelatihan tiga hari mengenai memulai dan meningkatkan usaha, ia dengan serius menekuni sesi perhitungan biaya per unit dan pemasaran. Menurutnya, kedua topik ini sangat membantunya dalam merintis usaha. “Menentukan harga yang tepat dan melakukan promosi menjadi kunci bagi usaha yang saya rintis ini,” tambahnya.

Epang segera menerapkan apa yang ia pelajari dengan membuka rumah untuk mengeringkan daun kelor dua minggu setelah pelatihan. Bersama dengan saudaranya, serta dibantu oleh sang Ayah, mereka mengolah daun dan biji kelor menjadi teh, tepung dan minyak. Mereka juga mendapat masukan dari seorang peneliti muda yang sedang melakukan penelitian skripsi mengenai tanaman kelor.

Dengan slogan “Berbahan alami”, Moringa House saat ini melakukan pemasaran secara daring. Produk-produk organik tanpa bahan pengawet ini telah menarik minat para pelanggan. Selain pelanggan secara daring, Epang berupaya menjangkau pelanggan setempat dengan menitipkan produk-produknya di sebuah swalayan dekat rumah.

Moringa House saat ini dapat mencapai omset sebesar Rp. 500 ribu hingga 1 juta per minggunya. Ia berharap usahanya akan terus berkembang sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan tidak hanya bagi keluarganya tapi juga bagi masyarakat NTT. Ia juga berharap semakin banyak anak muda yang turut melestarikan pangan, budaya dan kearifan lokal NTT.

“Saya bangga dapat ikut memanfaatkan potensi dan kearifan lokal. Bagi saya, modal utama untuk masa depan adalah tekad dan kemauan untuk belajar,” ujar Epang menutup percakapan sore itu.